Dara duduk di sebuah sofa coklat yang empuk. Secangkir
coklat panas telah tersaji di dekat tangan kanannya. Tangan kirinya memangku
dagunya dengan wajah muram tanpa senyuman. Carissa, Risma, dan Elma yang duduk
dihadapannya menatapnya dengan penuh rasa pemakluman. Mereka sudah mengerti apa
yang sedang dialami oleh Dara.
“Kamu jangan sedih terus gini dong, Dara.. Kita-kita jadi
ikutan sedih nih..”
“Aku sudah mencoba untuk cuek, Rissa.. Tapi ngga pernah
bisa. Belakangan ini rasa ketidaknyamanan aku semakin kuat. Aku merasa sudah
tidak bisa sepemahaman lagi dengan Ayla, Helsi, Terry, dan Mala.”
“Kita ngerti, sayang. Memang pribadi yang berbeda-beda itu
tidak mudah untuk disatukan. Sedekat-dekatnya sahabat, pasti suatu saat akan
menemukan hal-hal yang tidak sejalan. Itu yang harus kamu pahami.” ucap Elma.
“Selama ini aku terus berusaha untuk memahami. Aku selalu
mencoba untuk mengalah dan menerima. Aku memilih untuk diam. Tapi mereka semakin
menjadi. Sekarang mereka benar-benar sudah berubah, tidak sama lagi seperti
dulu. Entah mengapa bisa begitu.”
“Bukan hanya mereka. Tanpa kamu sadari, kamu pun sebenarnya
juga sudah berubah. Setiap orang pasti akan berubah, Dara.. Kondisi,
lingkungan, status, pendidikan, pekerjaan, adalah beberapa penyebab seseorang
menjadi berubah. Ada yang berubah menjadi lebih baik, ada juga yang menjadi
ngga baik. Ada yang berubah lebih matang, ada juga yang menjadi labil. Ada yang
berubah lebih maju, ada juga yang menjadi kemunduran. Semuanya tergantung
masing-masing orangnya, mau pilih yang mana.” ucap Risma menanggapi.