Aina duduk sendirian di sebuah coffee shop. Dia memandangi
hujan yang turun dari kaca jendela yang ada di dekatnya. Mobil dan motor yang
berlalu lalang dengan kecepatan rata-rata, terlihat agak buram karena derasnya
hujan yang turun disertai angin. Namun pemandangan itu sama sekali tidak
dinikmati olehnya. Aina yang sangat menyukai hujan, seolah begitu menikmati ditemani
pikirannya yang sedang melayang ke sebuah kisahnya di masa lalu.
Aina teringat, delapan tahun yang lalu dia begitu ingin
pindah kuliah di Jogja. Dia ingin transfer kuliah di Fakultas Kedokteran di
universitas di Jogja dan meninggalkan kampus Kedokteran di universitas di
Semarang, tempat dia kuliah selama satu tahun. Keinginannya yang tidak masuk
akal itu dikarenakan sebuah alasan yang egois, dia ingin mengejar cintanya.
Tentu saja keinginan gilanya itu tidak bisa diwujudkan dengan mudah. Dalam
hatinya, dia tidak punya keberanian untuk menyampaikannya kepada orang tuanya.
Dia sepenuhnya sadar, orang tuanya tidak akan mungkin mengizinkan.
Ketika Aina curhat pada sahabat-sahabatnya, tidak ada
satupun yang mendukung keinginannya. Mereka justru menentang dan memberikan
ceramah panjang lebar agar Aina tidak terlalu mengikuti keinginan hati yang
tidak masuk akal itu. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya dia mengubur
keinginannya dan tetap melanjutkan kuliahnya di Semarang.
Demi cintanya pada Faraz, Aina tidak kehilangan akal. Dia
berhasil menemukan cara agar bisa tetap bertemu dengan Faraz. Setiap weekend, dia
selalu meluangkan waktu untuk pergi ke Jogja menemui Faraz. Aina rela menempuh
perjalanan tiga jam ditemani seorang sahabatnya yang paling dekat dengannya,
hanya untuk bertemu dengan Faraz.