Sejak kekasihnya meninggal delapan bulan
yang lalu, Nayla seperti orang yang kehilangan harapan dan cahaya hidup. Dia
tenggelam dalam kepedihan dan keputusasaan. Rasa perih di hatinya karena Rizky
pergi untuk selama-lamanya, semakin dalam menyeretnya ke jurang keterpurukan.
“Nayla, sampai kapan kamu mau terus
seperti ini?” tanya Misha, sahabat terdekat Nayla. Tangannya membelai kepala
Nayla yang tiduran di kasurnya.
“Aku juga ngga tau, Sha..” jawab Nayla
pelan.
“Sayang, sudah saatnya kamu harus
bangkit. Kehilangan Rizky tidak berarti hidupmu berhenti. Rizky sudah tenang di
sisi-Nya. Kamu harus melanjutkan hidupmu.”
“Aku ngga tau bagaimana caranya
menjalani hidupku tanpa Rizky.”
“Aku tau Rizky itu bagian dari dirimu,
tapi dia bukan seluruh hidupmu. Orang tua dan kakak-kakakmu di bawah, aku dan
anak-anak, kita semua sangat sayang dan perduli sama kamu. Kita akan selalu ada
untuk kamu, Nayla.. Lanjutkanlah hidupmu untuk kita, orang-orang yang selalu
mencintaimu.”
“Aku tidak tau harus melangkah ke mana,
segalanya sangat gelap. Bagaimana bisa aku melanjutkan hidupku?”
Misha memegang wajah Nayla dan
menatapnya. “Pergilah kepada Tuhanmu, Nayla.. Selama ini kamu sudah jauh
dari-Nya. Kamu jarang bersujud pada-Nya, sehingga kamu menjadi orang yang
sangat rapuh. Memang benar lima tahun kamu bersama Rizky, harapan dan masa
depan telah kamu gantungkan padanya. Tapi tidak seharusnya perpisahan ini
membuatmu tenggelam sedemikian dalam ke jurang kepedihan, sampai kamu
kehilangan semangat begini. Mendekatlah pada Allah, sayang.. DIA yang akan
memberimu kekuatan dan menuntunmu keluar dari kegelapan dengan cahaya
terang-Nya.”
♥♥♥♥♥♥