Sudah enam tahun Zahra dan Fathir pacaran.
Mereka pasangan yang sangat serasi. Yang laki-laki tampan, kaya, dan kuliahnya
S2 lulusan luar negeri. Yang perempuan cantik, baik, dan cerdas. Banyak orang
yang iri dengan pasangan itu karena selalu rukun dan bahagia. Sejak masih
kuliah S1 sampai sudah bekerja hubungan mereka tetap awet dan harmonis.
Tapi banyak yang tidak tau keadaan
hubungan mereka yang sebenarnya. Dibalik keharmonisan Zahra dan Fathir, ada
restu dari orang tua yang tak kunjung datang melengkapi kebahagiaan mereka.
Orang tua Fathir tidak pernah merestui hubungan itu karena keluarga Zahra tidak
cukup kaya bagi keluarga Fathir. Zahra hanya lulusan S1 yang bekerja di sebuah
bank. Orang tuanya pembuat tempe, tahu, dan krupuk yang disetorkan ke pasar dan
tempat makan. Kakak perempuannya sudah menikah dan bekerja di luar kota,
adiknya masih kuliah semester dua. Keadaan seperti itu tidak sepadan sama
sekali dengan keluarga Fathir yang kaya. Orang tua Fathir pengusaha batik yang
sukses, dagangan batiknya tidak hanya laris di dalam dan luar kota tapi juga
diekspor ke luar negeri. Fathir dan kakak perempuannya lulusan luar negeri
semua dan ikut meneruskan bisnis keluarganya bahkan melebarkan sayap ke bidang
lain.
Zahra sudah beberapa kali meminta putus
dari Fathir karena tidak mau memaksakan hubungan yang tidak pernah direstui
oleh orang tua Fathir. Saat Fathir melanjutkan S2 ke Jepang, Zahra sudah
memutuskan komunikasi mereka berdua tapi Fathir terus saja mengejarnya dan
tidak mau memutuskan hubungan. Fathir sangat mencintai Zahra, dia tidak mau
berpisah dengan perempuan kalem itu. Bagi Fathir, Zahra adalah perempuan yang
sempurna karena hatinya sangat baik, sabar, cerdas, tidak silau harta, mandiri,
dan dewasa.
Fathir meminta Zahra untuk tetap
bertahan dengan hubungan mereka. Dia minta diberi waktu untuk bisa meluluhkan
hati kedua orang tuanya sampai mereka mau memberikan restu. Tapi penantian
Zahra tak juga berakhir. Bulan demi bulan dan tahun demi tahun berganti, restu
dari orang tua Fathir tak kunjung datang. Orang tua Zahra sudah menanyakan
kelanjutan hubungan Zahra dengan Fathir. Zahra sudah berusia 25 tahun, sudah
bekerja dan punya penghasilan sendiri, sudah saatnya untuk memikirkan
pernikahan dan berumah tangga. Orang tua Zahra sudah menunggu-nunggu Fathir
untuk membicarakan masa depan hubungannya dengan Zahra secara serius.
♥♥♥♥♥♥
Zahra meminta Fathir untuk menemuinya di
sebuah coffee shop sore ini. Pukul empat kurang sepuluh menit Zahra sudah duduk
di salah satu meja paling ujung, sengaja menjauh dari meja yang lain. Dia
memesan secangkir cappuccino lalu membaca sebuah buku yang dibawanya sambil
menunggu Fathir datang. Dua puluh menit kemudian Fathir datang mengenakan kaos
berkerah, celana jins, dan sepatu. Dia duduk di depan Zahra lalu memesan
secangkir doble expresso.
Zahra sekali lagi menyampaikan
keinginannya untuk berpisah dengan Fathir. Dia benar-benar serius dengan
keinginannya, dia tidak mau lagi menuruti permintaan Fathir untuk tetap
bertahan. Dia sudah benar-benar mantab dengan keinginannya dan sangat yakin
dengan keputusannya.
“Tolong bersabarlah, Zahra! Aku masih
terus berusaha untuk melunakkan hati kedua orang tuaku. Aku masih berjuang
untuk bisa mendapatkan restu mereka.” ucap Fathir bersungguh-sungguh.
“Fathir, aku sudah sangat bersabar
menunggu kamu selama ini. Tapi ini bukan lagi tentang kesabaran. Sudah saatnya
kita berdua harus membuka mata dan melihat kenyataan. Jangan lagi kita
memaksakan keinginan kita. Kita sudah sama-sama berusaha dan berjuang selama
enam tahun. Sekarang saatnya kita untuk menerima kenyataan yang ada. Kita harus
ikhlas untuk merelakan hubungan kita. Kita memang harus berpisah. Kita tidak
bisa lagi terus bersama.” ucap Zahra. Sangat tenang namun penuh keyakinan.
Fathir menarik tangan Zahra dan
menggenggamnya erat. “Aku ngga mau kita berpisah! Aku sangat mencintai kamu
Zahra! Aku ngga mau kehilangan kamu! Aku ngga bisa hidup tanpa kamu, aku bisa
mati! Aku rela kehilangan apa saja asalkan bukan kamu!” tegas Fathir.
“Kamu jangan berbicara seperti itu,
Fathir.. Janganlah kamu terbuai dengan perasaanmu hingga kamu mengabaikan akal
sehatmu. Aku ini hanya manusia biasa yang penuh kekurangan dan tidak sempurna.
Aku bukanlah apa-apa. Kalau kamu kehilangan aku, jangan pernah kamu putus asa.
Aku yakin kamu bisa melanjutkan hidupmu tanpa aku. Bahkan hidupmu akan lebih
baik nantinya.”
“Kamu salah, Zahra! Hidupku akan
berantakan tanpa kamu! Kamu yang sudah merubah aku. Kamu yang menuntun hidupku.
Kamu yang menjadi semangatku sampai aku sekolah tinggi dan bisa bekerja dengan
baik. Kamu adalah semangatku setiap aku membuka mata di pagi hari. Kamu adalah
alasan kuat setiap aku melangkah untuk mewujudkan semua harapanku. Kamu adalah
hidupku, Zahra! Jangan tinggalkan aku!” ucap Fathir. Ada kesedihan dalam
suaranya. Dia menatap memohon pada Zahra.
Zahra menarik tangannya dan menggenggam
tangan Fathir dengan lembut. “Aku juga sangat mencintaimu, Fathir.. Aku sangat
bahagia karena ternyata aku sudah merubah hidupmu menjadi lebih baik dan aku
selalu menjadi semangatmu. Aku sangat bahagia karena aku sudah bisa memberikan
yang terbaik untuk kamu selama ini. Tapi pikirkanlah orang tuamu. Mereka juga
sudah memberikan yang terbaik untukmu, dari sejak kamu lahir hingga sekarang.
Mereka adalah hal yang paling berharga dalam hidupmu. Aku hanyalah sebagian
kecil yang memberikan warna dalam hidupmu, sebagian kecil yang memberikan hal terbaik
untukmu. Tapi itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang orang tuamu
berikan untuk seumur hidupmu nanti.”
“Aku tau, mereka sudah melakukan banyak
hal untukku dan memberikan yang terbaik untukku. Tapi kamu sama berharganya
dengan orang tuaku. Kehadiranmu dalam hidupku adalah segalanya untukku. Aku
ngga mau kita berpisah.”
“Fathir...aku mohon sama kamu, dengarkan
aku kali ini. Kita harus berpisah. Sudah cukup kita menyakiti orang lain karena
kebersamaan kita selama ini. Sudah cukup enam tahun kita menyakiti orang tuamu
dan menggantungkan harapan orang tuaku. Aku tidak sanggup lagi meneruskan
hubungan ini. Kedua orang tuaku ingin aku segera mendapat kepastian dari kamu,
tapi hingga saat ini kamu tidak bisa memberikannya. Aku tidak mau membuat mereka
terus menunggu dan berharap. Aku juga tidak mau terus menyakiti orang tuamu,
aku tidak mau mereka semakin membenciku.”
“Mengapa kamu tega memaksaku untuk
berpisah, Zahra? Mengapa kamu lebih memikirkan perasaan orang tuaku dari pada
perasaanku? Apakah aku tidak berarti bagimu?” tanya Fathir. Dia mulai merasa
putus asa. Hatinya terasa sakit.
Pedih sekali hati Zahra saat mendengar
ucapan Fathir dan melihat sorot matanya yang putus asa. Kedua tangan Zahra
menyentuh wajah Fathir. Zahra menatapnya lembut namun penuh kesedihan. “Aku
sangat mencintaimu, Fathir. Kamu tau aku sangat perduli padamu. Aku tidak mau
kamu melakukan hal-hal yang buruk karena aku. Kamu sangat berarti bagiku.”
“Lalu mengapa kamu melakukan ini
padaku?” tanya Fathir lirih.
“Aku tidak mau kamu menyakiti hati kedua
orang tuamu. Aku tidak mau kamu terus melukai mereka karena aku. Mereka adalah
orang tua kandungmu. Mereka sudah merawat kamu sejak kecil, mendidik, dan
membesarkan kamu dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang. Apa yang sudah
mereka lakukan dan berikan untuk kamu tidak akan pernah bisa dibayar dengan
apapun, termasuk kehadiranku yang merubah hidupmu menjadi lebih baik. Aku mohon
dengan sangat, penuhi permintaan mereka. Lepaskan aku, Fathir.. Menjauhlah
dariku dan carilah pengganti yang lebih baik yang bisa diterima dan direstui
oleh orang tuamu. Aku yakin hidupmu nanti akan lebih bahagia dengan restu
mereka.”
“Tapi orang tuaku.....”
“Mereka adalah darah dagingmu!” Zahra
memotong ucapan Fathir. “Jangan kamu korbankan mereka demi aku, orang yang baru
kamu kenal dan kamu temukan setelah kamu dewasa. Kamu mengenal orang tuamu dari
sejak kamu lahir, mereka adalah keluargamu dan selamanya akan menjadi bagian
dari hidupmu. Dalam tubuhmu mengalir darah mereka yang memberikan kamu
kehidupan. Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah orang asing yang
kamu temui saat kamu sudah dewasa, kemudian kamu kenal, kamu cintai, dan kamu
inginkan untuk bersamamu. Jika kita memaksakan untuk bersama dan menikah, tapi
kenyataannya kita tidak berjodoh lalu kita berpisah. Maka luka di hati orang
tuamu akan semakin mendalam. Aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya
perasaan mereka nanti. Suami ataupun istri bisa menjadi mantan karena
perceraian. Tapi orang tua dan anak kandung tidak akan pernah bisa menjadi
mantan apapun yang terjadi.” ucap Zahra dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi bagaimana kalau ternyata kita ini
berjodoh? Apakah kita harus memaksakan diri untuk tetap berpisah?”
“Kita tidak pernah tau siapa jodoh kita,
Fathir.. Kalau memang kita berjodoh, Tuhan pasti akan membantu kita untuk
bersatu. Tapi untuk saat ini, jalan kita untuk bisa bersama begitu sulit. Kita
sudah berusaha dan berdo’a, tapi jalan untuk kita tak juga kita temukan.
Mungkin memang inilah jawaban dari Tuhan untuk kita. Kita harus menerimanya.
Kita jangan memaksakan untuk bersama dan menikah. Aku tidak mau kita durhaka
pada orang tuamu. Kemarahan orang tuamu terutama Ibumu, akan menjadi kemarahan
Tuhan. Kelak kalau kita punya anak, bagaimana jika perbuatan kita dibalas oleh
Tuhan? Kita durhaka pada orang tuamu dan nantinya anak kita yang durhaka pada
kita? Aku tidak mau seperti itu, Fathir..”
“Tapi aku tidak sanggup kehilangan kamu,
Zahra.. Aku sangat mencintaimu. Bagaimana aku harus melanjutkan hidupku tanpa
kamu?”
Zahra meletakkan kedua tangannya di dada
Fathir. “Percayalah padaku, Fathir. Kamu bisa hidup tanpa aku. Hidupmu akan
lebih baik tanpa aku. Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk semua
umat-Nya. Yakinlah, Fathir.. Janji Tuhan itu pasti.”
“Apakah keputusanmu ini sudah benar-benar
bulat? Tidak bisakah kita berusaha lagi untuk terakhir kalinya?” tanya Fathir
masih berharap.
Zahra menatap dalam-dalam mata Fathir.
“Fathir...aku mohon sekali lagi sama kamu. Jangan memaksa lagi, sudah cukup.
Kita akhiri hubungan kita ini. Lepaskan aku. Biarkan aku pergi dari
kehidupanmu.” Zahra menunduk, tak kuasa menahan air matanya yang akhirnya jatuh
di pipinya.
Fathir terdiam. Dia melihat Zahra dengan
tatapan yang penuh kesedihan. Hatinya hancur berkeping-keping. Perasaannya
sangat terluka. Belum pernah dia merasa sesakit ini. Rasa perih membalut
seluruh tubuhnya hingga ke tulang. Perpisahan dengan perempuan yang sangat
dicintainya tidak bisa dihindarinya lagi. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi
untuk mencegah perpisahan ini. Dia tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia hanya
bisa pasrah dan menerima. Fathir
menggenggam tangan Zahra yang menempel di dadanya. “Kalau keputusanmu ini
memang sudah bulat, aku bisa apa? Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita.
Aku akan melepaskan kamu, Zahra.. Terima kasih kamu sudah hadir dalam hidupku.”
Tangis Zahra semakin sendu, meskipun
lirih namun terdengar menyayat hati. Fathir semakin tersiksa melihat Zahra
menangis begitu sedih. Dihapusnya air mata Zahra dengan keduatangannya. Fathir
ingin sekali menangis tapi tidak bisa. Menahan sakit yang luar biasa di hatinya
membuatnya tidak mampu meneteskan air mata. Terasa sangat menyesak di dadanya.
♥♥♥♥♥♥
Sudah satu bulan Zahra dan Fathir
berpisah. Mereka juga sudah menyampaikan berita perpisahan mereka kepada orang
tua mereka masing-masing. Orang tua Fathir senang mendengarnya. Tapi tidak
dengan kakak perempuan Fathir, dia justru merasa kasihan melihat adiknya sangat
terluka. Fara sebenarnya menyukai Zahra, dia mendukung hubungan Zahra dan
Fathir, tapi dia tidak berani membantah orang tuanya yang menentang hubungan
mereka.
Orang tua Zahra sedih dengan perpisahan
Zahra dan Fathir, tapi mereka tidak kecewa. Mereka lega karena akhirnya ada
kejelasan dengan hubungan Zahra dan Fathir yang selama ini terus menggantung.
Mereka berharap Zahra tidak terlalu larut dalam kesedihan. Mereka ingin Zahra
cepat melupakan Fathir dan mencari pengganti.
Meskipun sudah berpisah, Fathir masih
sering menghubungi Zahra. Hampir setiap hari dia mengirim sms atau menelpon
Zahra. Bahkan beberapa kali Fathir mengatakan ingin kembali lagi pada Zahra
tapi Zahra menolaknya dengan halus. Seperti malam ini, Fathir kembali
menghubungi Zahra.
“Perpisahan ini sangat menyiksaku. Sejak
kita berpisah, aku selalu merindukanmu. Aku ingin sekali bertemu denganmu,
Zahra.”
“Bersabarlah, Fathir.. Semua ini hanya
butuh waktu. Berhentilah memikirkan aku.”
“Sampai kapan, Zahra? Aku sudah hampir
putus asa. Aku sepertinya tidak sanggup lagi.”
“Kamu pasti bisa, Fathir.. Tidak lama
lagi kamu pasti akan terbiasa tanpa aku. Aku yakin kamu bisa mencari pengganti
yang lebih baik dari aku. Bukalah hatimu untuk wanita lain.”
“Apa aku masih bisa mencintai wanita
lain selain kamu? Kamu sudah membawa pergi seluruh hatiku, Zahra..
Kebahagiaanku sudah sirna.”
“Kamu tetap memiliki hatimu sendiri,
Fathir.. Dan suatu saat nanti, ketika kamu menemukan wanita yang tepat. Kamu
akan memberikan hatimu padanya. Kamu akan memiliki kembali kebahagiaanmu.”
“Kapan saat itu akan tiba? Aku tidak
yakin akan ada saat itu.”
“Bersabarlah. Semua pasti akan indah
pada waktunya. Percayalah, Fathir.. Kita pasti akan menemukan kebahagiaan kita
masing-masing. Jangan pernah berhenti berharap dan berdo’a.”
♥♥♥♥♥♥
Zahra diterima kerja di bank lain dengan
posisi lebih baik dan gaji lebih besar. Tapi konsekuensinya dia harus pindah ke
luar kota. Karena orang tuanya mendukung penuh, dia pun memutuskan untuk keluar
dari tempat kerjanya dan pindah ke tempat kerja yang baru. Kepindahan itu sama
sekali tidak disampaikan kepada Fathir. Dia sengaja tidak memberi tau karena
dia ingin membuka lembaran baru di kota yang akan dia tinggali setelah pindah
kerja.
Tiba di kota dan tempat kerja yang baru,
Zahra bertekad untuk menutup rapat kisahnya dengan Fathir yang memang sudah
berakhir. Sebelum berangkat, dia sudah berpesan kepada orang tua dan adiknya
untuk tidak memberi tau tentang tempat tinggal dan kantornya yang baru jika
Fathir datang ke rumah atau menghubungi mereka. Zahra juga sudah mengganti
nomor hand phonenya dengan nomor yang baru yang tidak diketahui oleh Fathir.
Dua minggu setelah Zahra pindah, Fathir
datang ke rumahnya. Dia bertemu dengan orang tua dan adik Zahra. Saat diberitau
bahwa Zahra sudah keluar dari tempat kerjanya dan pindah ke luar kota untuk
bekerja di tempat yang baru, Fathir sangat terkejut. Dia meminta alamat tempat
tinggal dan nomor hand phone Zahra yang baru. Dengan bijaksana ayah Zahra
menolak permintaan Fathir. Ayah Zahra memintanya untuk menerima keputusan Zahra
yang tidak mau diganggu lagi oleh Fathir. Dengan berat hati Fathir menuruti permintaan
orang tua Zahra. Dia pulang dengan perasaan sangat kecewa.
♥♥♥♥♥♥
Zahra hidup mandiri di kostnya. Jauh
dari orang tua dan keluarga, sama sekali tidak membuatnya cengeng. Dia sering
berkomunikasi dengan orang tuanya melalui hand phone sekedar untuk bertanya
kabar dan bercerita tentang pekerjaannya termasuk kehidupannya yang jauh dari
rumah. Orang tua Zahra selalu berpesan agar Zahra berhati-hati dan selalu
menjaga diri dengan baik. Mereka juga mengingatkan untuk rajin beribadah dan
terus berdo’a agar segera dipertemukan dengan jodohnya.
Hari berlalu berganti minggu, minggu
berlalu berganti bulan, bulan berlalu berganti tahun, dan tahun berganti tahun
lagi. Dua setengah tahun sudah Zahra menikmati pekerjaannya di Jakarta. Suatu
hari dia bertemu dengan seorang nasabah yang lebih tua delapan tahun darinya.
Pertemuan itu kemudian mendekatkan mereka berdua. Empat bulan berikutnya,
mereka resmi berpacaran. Mas Fadlan adalah sosok yang dewasa dan santun di mata
Zahra. Mas Fadlan bekerja sebagai manager F and B di sebuah hotel berbintang.
Orang tua dan keluarga mas Fadlan sangat menyukai dirinya. Zahra sangat
bersyukur kehadirannya diterima baik oleh mereka. Dia juga sangat bahagia saat
orang tuanya merestui dia berhubungan dengan mas Fadlan.
Sepuluh bulan berpacaran, mas Fadlan
mengajaknya menikah. Tentu saja Zahra sangat bahagia, dia memang sudah ingin
menikah. Selama tujuh hari berturut-turut, Zahra sholat Istikharah untuk
meminta petunjuk atas lamaran mas Fadlan. Dia juga ingin memantabkan hatinya.
Setelah dia merasa yakin dan mendapat jawaban melalui mimpi selama tiga malam,
dia menyampaikan tentang kesiapannya pada mas Fadlan. Dia sama sekali tidak
mempermasalahkan jarak usia mereka yang lumayan jauh dan status mas Fadlan yang
duda tanpa anak karena istrinya meninggal lima tahun yang lalu.
Satu minggu kemudian, mas Fadlan dan
keluarganya resmi melamar Zahra di rumah orang tua Zahra. Mereka sepakat
pernikahan akan dilangsungkan enam bulan kemudian karena ada banyak hal yang
harus dipersiapkan. Orang tua Zahra ingin pernikahan dilaksanakan dengan
menggelar pesta sederhana seperti kakak Zahra dulu.
♥♥♥♥♥♥
Satu bulan menjelang pernikahan, Zahra
bertemu dengan sahabatnya saat kuliah dulu. Kebetulan Zahra pulang ke rumah
saat akhir pekan. Dia sedang pergi ke sebuah swalayan bersama Ibu dan adiknya
saat bertemu Sara.
“Kamu apa kabar, Zahra?”
“Baik. Kamu sendiri gimana, Sara?”
“Aku juga baik. Kamu kerja dimana
sekarang? Lama ngga keliatan. Kalau ada acara kumpul-kumpul sama anak-anak ngga
pernah dateng lagi.”
“Aku sekarang kerja di Jakarta, Sara.
Udah sekitar empat tahun aku pindah.”
“Ohh pantesan kamu ngilang. Kok ngga
kabar-kabar sih kalau pindah? Nomor hand phone kamu juga ganti ngga
bilang-bilang.”
“Iya maaf, Sara.. Soalnya waktu itu
serba dadakan. Jadi ngga ada persiapan.”
“Bukan karena Fathir ya? Aku sama
anak-anak yang lain udah tau kalau kalian putus. Fathir sering curhat sama
Arsya setelah putus sama kamu. Termasuk kamu yang pindah ke luar kota dan
mengganti nomor hand phone karena menghindar dari Fathir.”
“Jadi kamu udah tau semua ya, Sara? Aku
sebenernya terpaksa melakukan semua itu. Karena itu satu-satunya cara supaya
Fathir mau melepaskan aku dan melupakan aku.”
“Iya aku tau, Zahra.. Fathir sangat
mencintai kamu makanya dia sulit melepaskan kamu. Tapi sekarang kamu tenang
aja. Fathir ngga akan mengejar-ngejar kamu lagi. Dia sudah menikah enam bulan
yang lalu.”
“Apa?? Fathir sudah menikah??” tanya
Zahra. Dia sangat terkejut.
“Iya. Jadi dua tahun setelah putus dari
kamu, Fathir bertemu lagi dengan sahabatnya waktu kecil. Namanya Tamara.
Setelah lulus SMU, Tamara dan keluarganya pindah ke Makassar. Setelah itu
Fathir dan Tamara putus komunikasi. Dua tahun setelah kalian putus itu, Tamara
sempat datang ke sini. Selama di sini, Tamara sering banget jalan sama Fathir.
Waktu Tamara balik lagi ke Makassar, komunikasi dia sama Fathir tetap intens.
Sampai pada akhirnya mereka berdua pun pacaran. Belum lama mereka pacaran,
mamanya Tamara yang sakit kanker, kondisinya memburuk dan dibawa ke Singapore.
Mamanya Tamara ingin melihat Tamara cepat menikah sebelum beliau meninggal
katanya. Ya udah akhirnya Fathir dan Tamara menikah di Singapore. Sebulan
setelah menikah, mamanya Tamara meninggal.”
“Oohh....jadi begitu. Kasian Tamara,
mamanya meninggal. Tapi aku ikut seneng Fathir ternyata sudah menikah, apalagi
menikahnya dengan sahabat lamanya.”
“Anak-anak juga ngga ada yang diundang
karena menikahnya kan di Singapore. Fathir hanya mengabari saja dan minta
dido’akan. Sekarang dia tinggal di Makassar sama istrinya. Tapi katanya setelah
istrinya melahirkan, dia akan kembali ke sini. Tinggal di sini sama istri dan
anaknya.”
“Tamara sudah hamil?”
“Iya, sudah dua bulan.”
“Syukurlah. Alhamdulillah kalau begitu.”
“Oh iya, kamu sendiri gimana?
Denger-denger kamu mau menikah juga ya?”
“Iya, Sara.. Insya Allah bulan depan.
Nanti pasti aku kasih undangannya buat kamu dan anak-anak.”
“Wahh...selamat ya! Aku tunggu
undangannya.”
♥♥♥♥♥♥
Pulang dari swayalan, Zahra merasa
hatinya sangat bahagia. Tidak hanya karena sebentar lagi dia akan menikah, tapi
juga karena dia mendapat kabar bahwa Fathir sudah menikah dan sedang menanti
kelahiran anak pertamanya. Dia ikut merasa senang, mantan pacar yang dulu
sangat dicintainya kini hidupnya sudah bahagia. Dia sangat lega karena Fathir
akhirnya berhasil menemukan wanita yang tepat untuknya. Dulu saat masih pacaran
dengan Fathir, dia pernah mendengar cerita tentang Tamara dari Fathir. Dia
pernah melihat foto Tamara di album foto milik Fathir. Tamara adalah sosok
wanita yang menarik, modern, dan tentu saja cerdas. Di mata Zahra, Tamara dan
Fathir memang sangat serasi dan cocok. Sama-sama berasal dari keluarga kaya dan
terhormat.
Sekarang dia semakin yakin untuk
melangkah menuju masa depannya bersama mas Fadlan. Hidupnya sekarang sudah
sangat indah, tidak ada lagi beban berat dan kesedihan. Kehadiran mas Fadlan
benar-benar menghapus segala kepedihannya dan mengobati seluruh luka di
hatinya.
Zahra tersenyum. Dia bersyukur karena
do’a-do’anya selama ini sudah dikabulkan. Dia dan Fathir sudah diberikan
kebahagiaan masing-masing. Semua benar-benar indah pada waktunya.
♥♥♥♥♥♥
Kisah ini sungguh mirip dgn kisah q....smg akan indah pada waktunya. Skrng hanya bisa tersenyum tp dalam hati menangis. Hanya bisa berdoa diberikan yg terbaik.
BalasHapus