27 Oktober 2012

INDAH PADA WAKTUNYA

 Sudah enam tahun Zahra dan Fathir pacaran. Mereka pasangan yang sangat serasi. Yang laki-laki tampan, kaya, dan kuliahnya S2 lulusan luar negeri. Yang perempuan cantik, baik, dan cerdas. Banyak orang yang iri dengan pasangan itu karena selalu rukun dan bahagia. Sejak masih kuliah S1 sampai sudah bekerja hubungan mereka tetap awet dan harmonis.
Tapi banyak yang tidak tau keadaan hubungan mereka yang sebenarnya. Dibalik keharmonisan Zahra dan Fathir, ada restu dari orang tua yang tak kunjung datang melengkapi kebahagiaan mereka. Orang tua Fathir tidak pernah merestui hubungan itu karena keluarga Zahra tidak cukup kaya bagi keluarga Fathir. Zahra hanya lulusan S1 yang bekerja di sebuah bank. Orang tuanya pembuat tempe, tahu, dan krupuk yang disetorkan ke pasar dan tempat makan. Kakak perempuannya sudah menikah dan bekerja di luar kota, adiknya masih kuliah semester dua. Keadaan seperti itu tidak sepadan sama sekali dengan keluarga Fathir yang kaya. Orang tua Fathir pengusaha batik yang sukses, dagangan batiknya tidak hanya laris di dalam dan luar kota tapi juga diekspor ke luar negeri. Fathir dan kakak perempuannya lulusan luar negeri semua dan ikut meneruskan bisnis keluarganya bahkan melebarkan sayap ke bidang lain.
Zahra sudah beberapa kali meminta putus dari Fathir karena tidak mau memaksakan hubungan yang tidak pernah direstui oleh orang tua Fathir. Saat Fathir melanjutkan S2 ke Jepang, Zahra sudah memutuskan komunikasi mereka berdua tapi Fathir terus saja mengejarnya dan tidak mau memutuskan hubungan. Fathir sangat mencintai Zahra, dia tidak mau berpisah dengan perempuan kalem itu. Bagi Fathir, Zahra adalah perempuan yang sempurna karena hatinya sangat baik, sabar, cerdas, tidak silau harta, mandiri, dan dewasa.
Fathir meminta Zahra untuk tetap bertahan dengan hubungan mereka. Dia minta diberi waktu untuk bisa meluluhkan hati kedua orang tuanya sampai mereka mau memberikan restu. Tapi penantian Zahra tak juga berakhir. Bulan demi bulan dan tahun demi tahun berganti, restu dari orang tua Fathir tak kunjung datang. Orang tua Zahra sudah menanyakan kelanjutan hubungan Zahra dengan Fathir. Zahra sudah berusia 25 tahun, sudah bekerja dan punya penghasilan sendiri, sudah saatnya untuk memikirkan pernikahan dan berumah tangga. Orang tua Zahra sudah menunggu-nunggu Fathir untuk membicarakan masa depan hubungannya dengan Zahra secara serius.

♥♥♥♥♥♥


Zahra meminta Fathir untuk menemuinya di sebuah coffee shop sore ini. Pukul empat kurang sepuluh menit Zahra sudah duduk di salah satu meja paling ujung, sengaja menjauh dari meja yang lain. Dia memesan secangkir cappuccino lalu membaca sebuah buku yang dibawanya sambil menunggu Fathir datang. Dua puluh menit kemudian Fathir datang mengenakan kaos berkerah, celana jins, dan sepatu. Dia duduk di depan Zahra lalu memesan secangkir doble expresso.
Zahra sekali lagi menyampaikan keinginannya untuk berpisah dengan Fathir. Dia benar-benar serius dengan keinginannya, dia tidak mau lagi menuruti permintaan Fathir untuk tetap bertahan. Dia sudah benar-benar mantab dengan keinginannya dan sangat yakin dengan keputusannya.
“Tolong bersabarlah, Zahra! Aku masih terus berusaha untuk melunakkan hati kedua orang tuaku. Aku masih berjuang untuk bisa mendapatkan restu mereka.” ucap Fathir bersungguh-sungguh.
“Fathir, aku sudah sangat bersabar menunggu kamu selama ini. Tapi ini bukan lagi tentang kesabaran. Sudah saatnya kita berdua harus membuka mata dan melihat kenyataan. Jangan lagi kita memaksakan keinginan kita. Kita sudah sama-sama berusaha dan berjuang selama enam tahun. Sekarang saatnya kita untuk menerima kenyataan yang ada. Kita harus ikhlas untuk merelakan hubungan kita. Kita memang harus berpisah. Kita tidak bisa lagi terus bersama.” ucap Zahra. Sangat tenang namun penuh keyakinan.
Fathir menarik tangan Zahra dan menggenggamnya erat. “Aku ngga mau kita berpisah! Aku sangat mencintai kamu Zahra! Aku ngga mau kehilangan kamu! Aku ngga bisa hidup tanpa kamu, aku bisa mati! Aku rela kehilangan apa saja asalkan bukan kamu!” tegas Fathir.
“Kamu jangan berbicara seperti itu, Fathir.. Janganlah kamu terbuai dengan perasaanmu hingga kamu mengabaikan akal sehatmu. Aku ini hanya manusia biasa yang penuh kekurangan dan tidak sempurna. Aku bukanlah apa-apa. Kalau kamu kehilangan aku, jangan pernah kamu putus asa. Aku yakin kamu bisa melanjutkan hidupmu tanpa aku. Bahkan hidupmu akan lebih baik nantinya.”
“Kamu salah, Zahra! Hidupku akan berantakan tanpa kamu! Kamu yang sudah merubah aku. Kamu yang menuntun hidupku. Kamu yang menjadi semangatku sampai aku sekolah tinggi dan bisa bekerja dengan baik. Kamu adalah semangatku setiap aku membuka mata di pagi hari. Kamu adalah alasan kuat setiap aku melangkah untuk mewujudkan semua harapanku. Kamu adalah hidupku, Zahra! Jangan tinggalkan aku!” ucap Fathir. Ada kesedihan dalam suaranya. Dia menatap memohon pada Zahra.
Zahra menarik tangannya dan menggenggam tangan Fathir dengan lembut. “Aku juga sangat mencintaimu, Fathir.. Aku sangat bahagia karena ternyata aku sudah merubah hidupmu menjadi lebih baik dan aku selalu menjadi semangatmu. Aku sangat bahagia karena aku sudah bisa memberikan yang terbaik untuk kamu selama ini. Tapi pikirkanlah orang tuamu. Mereka juga sudah memberikan yang terbaik untukmu, dari sejak kamu lahir hingga sekarang. Mereka adalah hal yang paling berharga dalam hidupmu. Aku hanyalah sebagian kecil yang memberikan warna dalam hidupmu, sebagian kecil yang memberikan hal terbaik untukmu. Tapi itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang orang tuamu berikan untuk seumur hidupmu nanti.”
“Aku tau, mereka sudah melakukan banyak hal untukku dan memberikan yang terbaik untukku. Tapi kamu sama berharganya dengan orang tuaku. Kehadiranmu dalam hidupku adalah segalanya untukku. Aku ngga mau kita berpisah.”
“Fathir...aku mohon sama kamu, dengarkan aku kali ini. Kita harus berpisah. Sudah cukup kita menyakiti orang lain karena kebersamaan kita selama ini. Sudah cukup enam tahun kita menyakiti orang tuamu dan menggantungkan harapan orang tuaku. Aku tidak sanggup lagi meneruskan hubungan ini. Kedua orang tuaku ingin aku segera mendapat kepastian dari kamu, tapi hingga saat ini kamu tidak bisa memberikannya. Aku tidak mau membuat mereka terus menunggu dan berharap. Aku juga tidak mau terus menyakiti orang tuamu, aku tidak mau mereka semakin membenciku.”
“Mengapa kamu tega memaksaku untuk berpisah, Zahra? Mengapa kamu lebih memikirkan perasaan orang tuaku dari pada perasaanku? Apakah aku tidak berarti bagimu?” tanya Fathir. Dia mulai merasa putus asa. Hatinya terasa sakit.
Pedih sekali hati Zahra saat mendengar ucapan Fathir dan melihat sorot matanya yang putus asa. Kedua tangan Zahra menyentuh wajah Fathir. Zahra menatapnya lembut namun penuh kesedihan. “Aku sangat mencintaimu, Fathir. Kamu tau aku sangat perduli padamu. Aku tidak mau kamu melakukan hal-hal yang buruk karena aku. Kamu sangat berarti bagiku.”
“Lalu mengapa kamu melakukan ini padaku?” tanya Fathir lirih.
“Aku tidak mau kamu menyakiti hati kedua orang tuamu. Aku tidak mau kamu terus melukai mereka karena aku. Mereka adalah orang tua kandungmu. Mereka sudah merawat kamu sejak kecil, mendidik, dan membesarkan kamu dengan penuh pengorbanan dan kasih sayang. Apa yang sudah mereka lakukan dan berikan untuk kamu tidak akan pernah bisa dibayar dengan apapun, termasuk kehadiranku yang merubah hidupmu menjadi lebih baik. Aku mohon dengan sangat, penuhi permintaan mereka. Lepaskan aku, Fathir.. Menjauhlah dariku dan carilah pengganti yang lebih baik yang bisa diterima dan direstui oleh orang tuamu. Aku yakin hidupmu nanti akan lebih bahagia dengan restu mereka.”
“Tapi orang tuaku.....”
“Mereka adalah darah dagingmu!” Zahra memotong ucapan Fathir. “Jangan kamu korbankan mereka demi aku, orang yang baru kamu kenal dan kamu temukan setelah kamu dewasa. Kamu mengenal orang tuamu dari sejak kamu lahir, mereka adalah keluargamu dan selamanya akan menjadi bagian dari hidupmu. Dalam tubuhmu mengalir darah mereka yang memberikan kamu kehidupan. Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa. Aku hanyalah orang asing yang kamu temui saat kamu sudah dewasa, kemudian kamu kenal, kamu cintai, dan kamu inginkan untuk bersamamu. Jika kita memaksakan untuk bersama dan menikah, tapi kenyataannya kita tidak berjodoh lalu kita berpisah. Maka luka di hati orang tuamu akan semakin mendalam. Aku tidak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan mereka nanti. Suami ataupun istri bisa menjadi mantan karena perceraian. Tapi orang tua dan anak kandung tidak akan pernah bisa menjadi mantan apapun yang terjadi.” ucap Zahra dengan mata berkaca-kaca.
“Tapi bagaimana kalau ternyata kita ini berjodoh? Apakah kita harus memaksakan diri untuk tetap berpisah?”
“Kita tidak pernah tau siapa jodoh kita, Fathir.. Kalau memang kita berjodoh, Tuhan pasti akan membantu kita untuk bersatu. Tapi untuk saat ini, jalan kita untuk bisa bersama begitu sulit. Kita sudah berusaha dan berdo’a, tapi jalan untuk kita tak juga kita temukan. Mungkin memang inilah jawaban dari Tuhan untuk kita. Kita harus menerimanya. Kita jangan memaksakan untuk bersama dan menikah. Aku tidak mau kita durhaka pada orang tuamu. Kemarahan orang tuamu terutama Ibumu, akan menjadi kemarahan Tuhan. Kelak kalau kita punya anak, bagaimana jika perbuatan kita dibalas oleh Tuhan? Kita durhaka pada orang tuamu dan nantinya anak kita yang durhaka pada kita? Aku tidak mau seperti itu, Fathir..”
“Tapi aku tidak sanggup kehilangan kamu, Zahra.. Aku sangat mencintaimu. Bagaimana aku harus melanjutkan hidupku tanpa kamu?”
Zahra meletakkan kedua tangannya di dada Fathir. “Percayalah padaku, Fathir. Kamu bisa hidup tanpa aku. Hidupmu akan lebih baik tanpa aku. Tuhan selalu memberikan yang terbaik untuk semua umat-Nya. Yakinlah, Fathir.. Janji Tuhan itu pasti.”
“Apakah keputusanmu ini sudah benar-benar bulat? Tidak bisakah kita berusaha lagi untuk terakhir kalinya?” tanya Fathir masih berharap.
Zahra menatap dalam-dalam mata Fathir. “Fathir...aku mohon sekali lagi sama kamu. Jangan memaksa lagi, sudah cukup. Kita akhiri hubungan kita ini. Lepaskan aku. Biarkan aku pergi dari kehidupanmu.” Zahra menunduk, tak kuasa menahan air matanya yang akhirnya jatuh di pipinya.
Fathir terdiam. Dia melihat Zahra dengan tatapan yang penuh kesedihan. Hatinya hancur berkeping-keping. Perasaannya sangat terluka. Belum pernah dia merasa sesakit ini. Rasa perih membalut seluruh tubuhnya hingga ke tulang. Perpisahan dengan perempuan yang sangat dicintainya tidak bisa dihindarinya lagi. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi untuk mencegah perpisahan ini. Dia tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Dia hanya bisa pasrah dan  menerima. Fathir menggenggam tangan Zahra yang menempel di dadanya. “Kalau keputusanmu ini memang sudah bulat, aku bisa apa? Mungkin memang ini yang terbaik untuk kita. Aku akan melepaskan kamu, Zahra.. Terima kasih kamu sudah hadir dalam hidupku.”
Tangis Zahra semakin sendu, meskipun lirih namun terdengar menyayat hati. Fathir semakin tersiksa melihat Zahra menangis begitu sedih. Dihapusnya air mata Zahra dengan keduatangannya. Fathir ingin sekali menangis tapi tidak bisa. Menahan sakit yang luar biasa di hatinya membuatnya tidak mampu meneteskan air mata. Terasa sangat menyesak di dadanya.

♥♥♥♥♥♥


Sudah satu bulan Zahra dan Fathir berpisah. Mereka juga sudah menyampaikan berita perpisahan mereka kepada orang tua mereka masing-masing. Orang tua Fathir senang mendengarnya. Tapi tidak dengan kakak perempuan Fathir, dia justru merasa kasihan melihat adiknya sangat terluka. Fara sebenarnya menyukai Zahra, dia mendukung hubungan Zahra dan Fathir, tapi dia tidak berani membantah orang tuanya yang menentang hubungan mereka.
Orang tua Zahra sedih dengan perpisahan Zahra dan Fathir, tapi mereka tidak kecewa. Mereka lega karena akhirnya ada kejelasan dengan hubungan Zahra dan Fathir yang selama ini terus menggantung. Mereka berharap Zahra tidak terlalu larut dalam kesedihan. Mereka ingin Zahra cepat melupakan Fathir dan mencari pengganti.
Meskipun sudah berpisah, Fathir masih sering menghubungi Zahra. Hampir setiap hari dia mengirim sms atau menelpon Zahra. Bahkan beberapa kali Fathir mengatakan ingin kembali lagi pada Zahra tapi Zahra menolaknya dengan halus. Seperti malam ini, Fathir kembali menghubungi Zahra.
“Perpisahan ini sangat menyiksaku. Sejak kita berpisah, aku selalu merindukanmu. Aku ingin sekali bertemu denganmu, Zahra.”
“Bersabarlah, Fathir.. Semua ini hanya butuh waktu. Berhentilah memikirkan aku.”
“Sampai kapan, Zahra? Aku sudah hampir putus asa. Aku sepertinya tidak sanggup lagi.”
“Kamu pasti bisa, Fathir.. Tidak lama lagi kamu pasti akan terbiasa tanpa aku. Aku yakin kamu bisa mencari pengganti yang lebih baik dari aku. Bukalah hatimu untuk wanita lain.”
“Apa aku masih bisa mencintai wanita lain selain kamu? Kamu sudah membawa pergi seluruh hatiku, Zahra.. Kebahagiaanku sudah sirna.”
“Kamu tetap memiliki hatimu sendiri, Fathir.. Dan suatu saat nanti, ketika kamu menemukan wanita yang tepat. Kamu akan memberikan hatimu padanya. Kamu akan memiliki kembali kebahagiaanmu.”
“Kapan saat itu akan tiba? Aku tidak yakin akan ada saat itu.”
“Bersabarlah. Semua pasti akan indah pada waktunya. Percayalah, Fathir.. Kita pasti akan menemukan kebahagiaan kita masing-masing. Jangan pernah berhenti berharap dan berdo’a.”

♥♥♥♥♥♥


Zahra diterima kerja di bank lain dengan posisi lebih baik dan gaji lebih besar. Tapi konsekuensinya dia harus pindah ke luar kota. Karena orang tuanya mendukung penuh, dia pun memutuskan untuk keluar dari tempat kerjanya dan pindah ke tempat kerja yang baru. Kepindahan itu sama sekali tidak disampaikan kepada Fathir. Dia sengaja tidak memberi tau karena dia ingin membuka lembaran baru di kota yang akan dia tinggali setelah pindah kerja.
Tiba di kota dan tempat kerja yang baru, Zahra bertekad untuk menutup rapat kisahnya dengan Fathir yang memang sudah berakhir. Sebelum berangkat, dia sudah berpesan kepada orang tua dan adiknya untuk tidak memberi tau tentang tempat tinggal dan kantornya yang baru jika Fathir datang ke rumah atau menghubungi mereka. Zahra juga sudah mengganti nomor hand phonenya dengan nomor yang baru yang tidak diketahui oleh Fathir.
Dua minggu setelah Zahra pindah, Fathir datang ke rumahnya. Dia bertemu dengan orang tua dan adik Zahra. Saat diberitau bahwa Zahra sudah keluar dari tempat kerjanya dan pindah ke luar kota untuk bekerja di tempat yang baru, Fathir sangat terkejut. Dia meminta alamat tempat tinggal dan nomor hand phone Zahra yang baru. Dengan bijaksana ayah Zahra menolak permintaan Fathir. Ayah Zahra memintanya untuk menerima keputusan Zahra yang tidak mau diganggu lagi oleh Fathir. Dengan berat hati Fathir menuruti permintaan orang tua Zahra. Dia pulang dengan perasaan sangat kecewa. 

♥♥♥♥♥♥


Zahra hidup mandiri di kostnya. Jauh dari orang tua dan keluarga, sama sekali tidak membuatnya cengeng. Dia sering berkomunikasi dengan orang tuanya melalui hand phone sekedar untuk bertanya kabar dan bercerita tentang pekerjaannya termasuk kehidupannya yang jauh dari rumah. Orang tua Zahra selalu berpesan agar Zahra berhati-hati dan selalu menjaga diri dengan baik. Mereka juga mengingatkan untuk rajin beribadah dan terus berdo’a agar segera dipertemukan dengan jodohnya.
Hari berlalu berganti minggu, minggu berlalu berganti bulan, bulan berlalu berganti tahun, dan tahun berganti tahun lagi. Dua setengah tahun sudah Zahra menikmati pekerjaannya di Jakarta. Suatu hari dia bertemu dengan seorang nasabah yang lebih tua delapan tahun darinya. Pertemuan itu kemudian mendekatkan mereka berdua. Empat bulan berikutnya, mereka resmi berpacaran. Mas Fadlan adalah sosok yang dewasa dan santun di mata Zahra. Mas Fadlan bekerja sebagai manager F and B di sebuah hotel berbintang. Orang tua dan keluarga mas Fadlan sangat menyukai dirinya. Zahra sangat bersyukur kehadirannya diterima baik oleh mereka. Dia juga sangat bahagia saat orang tuanya merestui dia berhubungan dengan mas Fadlan.
Sepuluh bulan berpacaran, mas Fadlan mengajaknya menikah. Tentu saja Zahra sangat bahagia, dia memang sudah ingin menikah. Selama tujuh hari berturut-turut, Zahra sholat Istikharah untuk meminta petunjuk atas lamaran mas Fadlan. Dia juga ingin memantabkan hatinya. Setelah dia merasa yakin dan mendapat jawaban melalui mimpi selama tiga malam, dia menyampaikan tentang kesiapannya pada mas Fadlan. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan jarak usia mereka yang lumayan jauh dan status mas Fadlan yang duda tanpa anak karena istrinya meninggal lima tahun yang lalu.
Satu minggu kemudian, mas Fadlan dan keluarganya resmi melamar Zahra di rumah orang tua Zahra. Mereka sepakat pernikahan akan dilangsungkan enam bulan kemudian karena ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Orang tua Zahra ingin pernikahan dilaksanakan dengan menggelar pesta sederhana seperti kakak Zahra dulu.

♥♥♥♥♥♥


Satu bulan menjelang pernikahan, Zahra bertemu dengan sahabatnya saat kuliah dulu. Kebetulan Zahra pulang ke rumah saat akhir pekan. Dia sedang pergi ke sebuah swalayan bersama Ibu dan adiknya saat bertemu Sara.
“Kamu apa kabar, Zahra?”
“Baik. Kamu sendiri gimana, Sara?”
“Aku juga baik. Kamu kerja dimana sekarang? Lama ngga keliatan. Kalau ada acara kumpul-kumpul sama anak-anak ngga pernah dateng lagi.”
“Aku sekarang kerja di Jakarta, Sara. Udah sekitar empat tahun aku pindah.”
“Ohh pantesan kamu ngilang. Kok ngga kabar-kabar sih kalau pindah? Nomor hand phone kamu juga ganti ngga bilang-bilang.”
“Iya maaf, Sara.. Soalnya waktu itu serba dadakan. Jadi ngga ada persiapan.”
“Bukan karena Fathir ya? Aku sama anak-anak yang lain udah tau kalau kalian putus. Fathir sering curhat sama Arsya setelah putus sama kamu. Termasuk kamu yang pindah ke luar kota dan mengganti nomor hand phone karena menghindar dari Fathir.”
“Jadi kamu udah tau semua ya, Sara? Aku sebenernya terpaksa melakukan semua itu. Karena itu satu-satunya cara supaya Fathir mau melepaskan aku dan melupakan aku.”
“Iya aku tau, Zahra.. Fathir sangat mencintai kamu makanya dia sulit melepaskan kamu. Tapi sekarang kamu tenang aja. Fathir ngga akan mengejar-ngejar kamu lagi. Dia sudah menikah enam bulan yang lalu.”
“Apa?? Fathir sudah menikah??” tanya Zahra. Dia sangat terkejut.
“Iya. Jadi dua tahun setelah putus dari kamu, Fathir bertemu lagi dengan sahabatnya waktu kecil. Namanya Tamara. Setelah lulus SMU, Tamara dan keluarganya pindah ke Makassar. Setelah itu Fathir dan Tamara putus komunikasi. Dua tahun setelah kalian putus itu, Tamara sempat datang ke sini. Selama di sini, Tamara sering banget jalan sama Fathir. Waktu Tamara balik lagi ke Makassar, komunikasi dia sama Fathir tetap intens. Sampai pada akhirnya mereka berdua pun pacaran. Belum lama mereka pacaran, mamanya Tamara yang sakit kanker, kondisinya memburuk dan dibawa ke Singapore. Mamanya Tamara ingin melihat Tamara cepat menikah sebelum beliau meninggal katanya. Ya udah akhirnya Fathir dan Tamara menikah di Singapore. Sebulan setelah menikah, mamanya Tamara meninggal.”
“Oohh....jadi begitu. Kasian Tamara, mamanya meninggal. Tapi aku ikut seneng Fathir ternyata sudah menikah, apalagi menikahnya dengan sahabat lamanya.”
“Anak-anak juga ngga ada yang diundang karena menikahnya kan di Singapore. Fathir hanya mengabari saja dan minta dido’akan. Sekarang dia tinggal di Makassar sama istrinya. Tapi katanya setelah istrinya melahirkan, dia akan kembali ke sini. Tinggal di sini sama istri dan anaknya.”
“Tamara sudah hamil?”
“Iya, sudah dua bulan.”
“Syukurlah. Alhamdulillah kalau begitu.”
“Oh iya, kamu sendiri gimana? Denger-denger kamu mau menikah juga ya?”
“Iya, Sara.. Insya Allah bulan depan. Nanti pasti aku kasih undangannya buat kamu dan anak-anak.”
“Wahh...selamat ya! Aku tunggu undangannya.”

 ♥♥♥♥♥♥


Pulang dari swayalan, Zahra merasa hatinya sangat bahagia. Tidak hanya karena sebentar lagi dia akan menikah, tapi juga karena dia mendapat kabar bahwa Fathir sudah menikah dan sedang menanti kelahiran anak pertamanya. Dia ikut merasa senang, mantan pacar yang dulu sangat dicintainya kini hidupnya sudah bahagia. Dia sangat lega karena Fathir akhirnya berhasil menemukan wanita yang tepat untuknya. Dulu saat masih pacaran dengan Fathir, dia pernah mendengar cerita tentang Tamara dari Fathir. Dia pernah melihat foto Tamara di album foto milik Fathir. Tamara adalah sosok wanita yang menarik, modern, dan tentu saja cerdas. Di mata Zahra, Tamara dan Fathir memang sangat serasi dan cocok. Sama-sama berasal dari keluarga kaya dan terhormat.
Sekarang dia semakin yakin untuk melangkah menuju masa depannya bersama mas Fadlan. Hidupnya sekarang sudah sangat indah, tidak ada lagi beban berat dan kesedihan. Kehadiran mas Fadlan benar-benar menghapus segala kepedihannya dan mengobati seluruh luka di hatinya.
Zahra tersenyum. Dia bersyukur karena do’a-do’anya selama ini sudah dikabulkan. Dia dan Fathir sudah diberikan kebahagiaan masing-masing. Semua benar-benar indah pada waktunya.

♥♥♥♥♥♥

1 komentar:

  1. Kisah ini sungguh mirip dgn kisah q....smg akan indah pada waktunya. Skrng hanya bisa tersenyum tp dalam hati menangis. Hanya bisa berdoa diberikan yg terbaik.

    BalasHapus